Puisi-Puisi Arif Purnama Putra
Arif Purnama Putra, tempat tanggal lahir, Surantih, Pesisir Selatan Sumatera Barat. Sekarang mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI PADANG. Aktif bersama Komunitas Daun Ranting. Bagiku menulis adalah menertawakan hidup.
Cerita Seorang Penyair Luka
Sudah puluhan tahun ia mengumpulkan kata-kata puitis
Disetiap jengkal kalimat puitis ia selalu berujung pilu
Langit mengabsahkan rangkaian-rangkaian puisinya
Pada baris-baris makna, ia mengeluh pada hati-hati yang luka
Tiada arti yang mampu diselipkan, meski sudah tulis ribuan kali tentang luka
Kecewa teramat dalam menghujam jantung yang rapuh
Kebodohan seakan bertandang membawa bungkusan-bungkusan penuh malas
Diksinya benar tidak kuasa, sampai membunuh ragam rasa.
Itu adalah kekecewaan
Yang dipelajari ribuan jam, sampai melupakan masa bermain
Meniadakan kawan-kawan dalam hari-hari yang hampa
Pernah terlihat wajah seorang penyair idolanya tampil di sebuah majalah, dengan rangkaian kata dan makna yang satire
Penulis bernama, berjaya dengan suara-suara tulisannya, sampai benar memprovokasi dunia
Dituliskan dengan selembar kertas hitam putih yang ditemani gambar absurd
Sampai ia harus menempelkan itu pada dinding-dinding kamar
Agar luka tetap ada, dan puisinya hidup pada dada-dada yang mengangah.
“Aku ingin seperti yang ada di majalah”
“Aku ingin jadi seorang penyair”
“Aku ingin kau bersatu dengan pikiranku dan membuatmu bermakna”
“Aku benar-benar ingin seperti mereka yang menjatuhkan dunia dengan rangkaianmu: kata, kalimat dan seruan menjanjikan.”
Ia mengetahui itu, walau untuk terlihat bodoh pun ia harus menjadi orang bodoh.
Padang, 2016
Kerlip Kesedihan
Itu adalah bulan dan bintang, dikalungi perhiasan yang dibuat dari kesedihan
Jejak masa lalu memenjarakan hati
Umpat dalam dada bersarang
Aku sedang tertinggalkan, mati menahan rasa yang terbuang
Dan hari-hari selanjutnya aku menahan sabar
Memupuknya dengan doa-doa Tuhan, agar kelak tidak ada lagi kematian.
Padang, 2016
Kepulangan
Saban hari di jalan-jalan menuju sawah
Rumput-rumput mendulang dingin, menempel embun subuh
Pematang sawah yang liuk menukik pada baris-baris padi, burung mulai riuh, membagi tempat persinggahan
Segerombolan kerbau menyeruat dari kubangan, memanggil Tuan yang berjalan gontai dengan beban sekarung rumput
Sedang matahari berusaha mengintip dari barat
Ia tersenyum, keluh lupa akan disampaikan pada aroma-aroma daun padi
Bukit yang melandung mengembun, mengumpal asap dari halaman pondok ladang
Hati dibuai dendang ibu yang sedang memandikan anaknya
Menggema melewati sela-sela telinga, sampai pada hati yang resah
Suara parau ibu penjual sayur menyahut ke setiap rumah
Panggilan untuk pembeli memanggilnya.
Itu adalah kampung yang melahirkan anak-anak rindu di tanah rantau
Sampai pulang benar-benar memaksa untuk bersua
Dan melupakan banyak pesona-pesona kota.
Padang, 2016